Dalam waktu belakangan ini, dipicu oleh situasi global yang semakin volatile, banyak mata uang di beberapa emerging market termasuk Indonesia mengalami pelemahan nilai tukar atau secara teknis mengalami depresiasi. Perang Russia-Ukraina yang berkepanjangan dan disusul konflik Iran-Israel sungguh mengguncang dunia.
Dampaknya sejak akhir minggu lalu bahkan nilai tukar dolar as sudah di atas Rp 16.000. Hal ini tentu memicu kekhawatiran bagaimana ekonomi Indonesia bisa bertahan dan mempertahankan daya saingnya?
Tentu situasi ini bukan barang baru bagi Indonesia. Peristiwa Krisis Moneter (Krismon) 1998 jauh lebih dahsyat terjadi. Kebangkrutan korporasi terjadi karena meroketnya depresiasi mata uang sementara sebagian besar perusahaan Indonesia belum terbiasa melakukan proses lindung nilai (hedging) pada saat tersebut.
Langkah antisipasi sebagai pembelajaran krismon 98 maka pemerintah telah menetapkan kebijakan terkait penguatan system moneter, termasuk diundangkannya Undang-Undang Bank Indonesia (UU No. 6 Tahun 1999) yang memberikan Bank Indonesia (BI) independensi penuh dalam menjalankan kebijakan moneter.
Di samping itu dibentuk pula Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memperkuat koordinasi antar lembaga dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Selain itu sektor perbankan memperkuat diri dengan diterapkannya berbagai regulasi dan kebijakan untuk memperkuat permodalan, tata kelola, dan manajemen risiko bank.
Setelah peristiwa krismon 1998 situasi perekonominan kembali beranjak pulih dengan penataan kelembagaan otoritas keuangan serta korporasi yang lebih disiplin. Ekonomi kembali bisa bertumbuh dan Indonesia bisa kembali menunjukkan kinerja dan prospek yang bagus dan bahkan sudah masuk dalam kelompok G20.
Terjadinya kembali situasi instabilitas global dipicu factor eksternal tentu bisa mengancam kembali ketahanan ekonomi Indonesia. Potensi ancaman terkait kemungkinan terjadinya foreign outflow yang bisa memicu lemahnya rupiah, semakin mahalnya biaya impor bahan baku, serta kemungkinan melemahnya neraca perdagangan Indonesia.
Badan usaha milik negara (BUMN) sebagai salah satu pelaku ekonomi dominan di Indonesia tentu juga terpengaruh, terutama pada sektor yang memiliki interaksi global secara kuat. Beberapa contoh BUMN yang sangat sensitif terhadap forex exposure di antaranya adalah Pertamina.
Lanjut ke halaman berikutnya
Simak Video “Rupiah Keok Lawan Dolar AS, Airlangga: Tak Perlu Khawatir“
[Gambas:Video 20detik]