Jakarta –
Konflik Iran vs Israel dinilai bakal berdampak terhadap ke perekonomian Indonesia. Kalangan ekonom menyebutkan dampak bakal terasa mulai dari naiknya harga minyak hingga pengaruh ke nilai tukar mata uang.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, mengatakan ada lima dampak perang Iran vs Israel terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, adalah melonjaknya harga minyak mentah ke angka US$ 85,6 per barel atau meningkat 4,4% dibandingkan periode yang sama dari tahun sebelumnya year-on-year (yoy).
Bhima kemudian menjelaskan bahwa Iran adalah negara penghasil minyak ketujuh terbesar di dunia, oleh sebab itu, konflik antara negara tersebut dengan Israel bisa berdampak terhadap distribusi dan produksi minyak mentah global. Terdampaknya harga minyak mentah global pun dapat membuat anggaran subsidi energi pemerintah membengkak.
“Harga minyak yang melonjak berimbas ke pelebaran subsidi energi hingga pelemahan kurs rupiah lebih dalam,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (16/4/2024).
Dampak kedua, adalah keluarnya investasi asing dari negara berkembang karena meningkatkan risiko geopolitik. Di tengah prahara yang terjadi, Bhima mengatakan mayoritas investor bakal mencari aset yang aman seperti emas dan mata uang lain seperti dolar AS. Walhasil, ia menilai mata uang Rupiah bisa melemah sampai Rp 17.000 per dolar.
“Investor juga mencari aset yang aman baik emas dan sehingga rupiah bisa saja melemah hingga Rp 17.000 per dolar AS,” jelasnya.
Ketiga, adalah terganggunya kinerja ekspor Indonesia ke negara yang berdekatan dengan kawasan Timur Tengah seperti negara-negara Afrika dan Eropa. Terganggunya kinerja ekspor pun bakal membuat pertumbuhan ekonomi melambat di kisaran 4,6% sampai 4,8% pada 2024.
Sementara dampak keempat, adalah terdorongnya angka inflasi karena kenaikan harga energi yang membuat tekanan daya beli masyarakat semakin besar.
“Rantai pasok global yang terganggu perang membuat produsen harus cari bahan baku dari tempat lain, tentu biaya produksi yang naik akan diteruskan ke konsumen,” sambungnya.
Adapun dampak kelima, adalah suku bunga tinggi dalam jangka waktu panjang. Hal ini disebut Bhima bakal membuat nilai bunga kredit meningkat.
“Suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama bahkan ada risiko suku bunga naik. Bagi masyarakat yang mau membeli kendaraan bermotor hingga rumah lewat skema kredit siap siap bunga nya akan lebih mahal,” imbuhnya.
Adapun Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menjelaskan bahwa konflik Iran-Israel tentu bakal berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, khususnya untuk harga energi. Hal ini dikarenakan Indonesia masih mengimpor minyak mentah meski mempunyai sumber minyak.
“Indonesia masih impor minyak meski mempunyai sumber minyak,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Esther menilai ada sejumlah langkah yang harus diambil pemerintah untuk mengantisipasi hal itu. Terutama merevisi asumsi indikator makro ekonomi di APBN tentang harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebab, kedua indikator itu akan berdampak terhadap kenaikan anggaran dalam APBN khususnya terkait belanja subsidi BBM, impor, dan lain sebagainya.
“Apalagi besarnya cicilan utang luar negeri dan bunganya juga meningkat. Belum lagi berbagai belanja pemerintah terkait infrastructure dan belanja pembangunan lainnya juga akan meningkat. Oleh karena itu caranya harus mengalokasikan anggaran ke aktivitas yang produktif sehingga menghasilkan income lebih banyak, kemudian mendorong ekspor produk industri dalam negeri, serta mengelola pengelolaan anggaran secara efisien,” ujar dia.
Dampak Iran-Israel ke Menguatnya Dolar AS
Menguatnya dolar AS imbas konflik Iran-Israel pun juga berdampak signifkan terhadap perekonomian Indonesia. Menurut Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad ada sejumlah dampak yang akan dirasakan oleh Indonesia, yang paling utama harga minyak akan naik. Kenaikan harga minyak diyakini akan meningkatkan dana subsidi untuk BBM.
“Pasti harga minyak akan semakin mahal, harga barang barang semakin mahal, subsidi akan semakin besar,” kata dia.
Tak hanya itu, utang luar negeri baik itu pemerintah dan pengusaha juga diprediksi akan meningkat seiring dengan tingginya nilai tukar dolar AS. Hal ini diyakini akan memberatkan utamanya pada pengusaha.
“Termasuk kepada negara kita pertama adalah utang luar negeri dalam bentuk dolar yang cukup banyak, maka utang kita akan jauh lebih besar. Sektor swasta yang pinjam dari luar negeri memang bunganya lebih rendah tetapi yang mahal depresiasinya. Kita lihat struktur utang kita separuh lebih swasta, jadi swasta ini yang meminjamnya di perbankan luar, sekarang lagi nangis-nangis,” ujar dia.
Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal, lanjut mengungkap dampak dari menguatnya dolar AS terhadap rupiah yakni akan dirasakan oleh pengusaha segmen bisnis dari impor.
“Dampak dari penguatan dolar ini tentu saja pertama barang-barang kita yang impor jauh lebih mahal, industri yang impor bahan baku atau barang modal biaya produksinya akan lebih mahal, industri yang bergantung pada pasokan dari luar negeri lebih mahal,” jelas dia.
Kemudian, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan dampak besar penguatan dolar AS yakni kepada harga minyak. Hal ini diyakini akan memperbesar subsidi yang akan dikeluarkan oleh negara untuk BBM.
“Dana subsidi akan membengkak, karena kita tahu kalau seandainya harga minyak mentah bisa naik US$100 per barel, dipastikan kemungkinan pemerintah mengeluarkan subsidi yang jauh begitu besar,” jelas dia.
Sebagai informasi, dolar AS hari ini tercatat pada level Rp 16.000an. Dikutip dari data RTI dolar AS tercatat pada posisi Rp 16.169 atau menguat 330 poin atau 2,08%.Hari ini dolar AS tertinggi pada level Rp 16.189 dan level terendah Rp 15.839. Secara mingguan dolar AS tercatat menguat 2,08%. Lalu secara bulanan menguat 2,93%. Lalu secara year to date menguat 5,03%. Kemudian secara tahunan menguat 8,96%.
(das/das)