Jakarta –
Kementerian Perdagangan sedang mengevaluasi peraturan yang dirancang untuk membatasi impor lebih dari 3.000 produk. Aturan ini tertuang dalam Permendag No. 3 Tahun 2024 tentang perubahan atas Permendag Nomor 36 Tahun 2023 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Semuanya masih dalam evaluasi, kami terus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso dikutip dari Reuters, Sabtu (6/4/2026).
Sebenarnya aturan tersebut merupakan tindak lanjut dari pemerintah untuk pengawasan terhadap banyak barang impor, mulai dari bahan makanan, perkakas tangan, hingga bahan kimia, karena sejumlah pelaku bisnis dalam negeri mengeluhkan marak barang impor ke pasar lokal.
Namun, sejumlah pelaku usaha juga mengeluhkan pengetatan tersebut karena dinilai telah membatasi akses mereka terhadap beberapa bahan mentah yang mereka butuhkan.
Menyusul keluhan dan peringatan mengenai kekurangan pasokan, Kementerian Perdagangan pada bulan lalu sempat melonggarkan pembatasan suku cadang pesawat terbang dan bahan mentah untuk industri plastik. Kelompok bisnis mengatakan peraturan tersebut perlu dilonggarkan lebih lanjut.
Dalam aturan saat ini pemerintah tidak melarang impor berdasarkan aturan yang rumit, namun mewajibkan perlakuan yang berbeda antar barang. Sebagian besar importir diharuskan mendapatkan izin dan barangnya harus diperiksa di tempat pemeriksaan pabean.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) mengatakan pembatasan impor bahan pangan, seperti campuran fortifikasi, membuat stok yang ada hanya bertahan beberapa bulan.
Campuran fortifikasi, yang meningkatkan kandungan nutrisi, diwajibkan oleh standar nasional untuk dicampur ke dalam makanan olahan seperti tepung dan minyak goreng.
“Kami tidak mau bahan bakunya masuk (daftar pembatasan). Kalau mereka membatasi produk jadi tidak apa-apa, tapi kalau bahan bakunya tidak boleh dipersulit,” kata Ketua GAPMMI Adhi S. Lukman.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengatakan pembatasan yang tidak tepat sasaran dapat mengganggu operasional industri berorientasi ekspor, termasuk otomotif, peleburan mineral dan manufaktur elektronik, serta sektor makanan dan minuman.
(ada/ara)