Jakarta –
Dunia usaha saat ini sedang dalam tekanan kondisi global. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani.
CEO dari Sintesa Group tersebut mengatakan saat ini kondisi dunia usaha sedang dalam mode bertahan atas segala tekanan yang dirasakan. Bahkan untuk lari kencang saja tidak bisa.
“Well, sekarang aja mau lari kencang udah nggak mungkin, kita ngomongin untuk surviving mode,” kata Shinta kepada detikcom, ditulis Kamis (4/4/2024).
Dengan tekanan yang dirasakan dari global tadi, Shinta bilang ada beberapa kebijakan pemerintah yang menjadi sorotan dunia usaha saat ini. Di antaranya Kebijakan impor yang tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 yang telah berubah menjadi Permendag Nomor 3 Tahun 2024.
“Ini banyak menimbulkan skeptis. Pertama, dari segi sosialisasinya mungkin yang harus lebih di inikan, tapi pengaruhnya.” katanya.
Pengusaha sendiri memahami kebijakan ini diterbitkan untuk mengurangi impor ilegal yang juga dihadapi banyak pelaku usaha. Namun demikian sejumlah proses impor menjadi sangat sulit dengan adanya pengetatan tadi.
“Misalnya sekarang kuota harus setiap 6 bulan harus minta izin, minta persetujuan. Prosesnya sendiri dari impor, impor kita itu 70% kan masih bahan baku bahan penolong. Jadi walaupun pemerintah sudah mencoba untuk mengevaluasi mana nih yang bisa dapat? Ya kita tahu lartas-lartas (larangan terbatas) yang ada ya. Tapi waver-wavernya itu gitu, Tapi tetap masih banyak yang punya kendala dari segi impor. Jadi ini salah satu kebijakan contoh yang saat ini sedang dihadapi pelaku (usaha) yang cukup memberatkan.” jelas Shinta.
Kebijakan kedua adalah soal Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang kini ‘digembok’. Lewat kebijakan tersebut, diketahui bahwa pemerintah mewajibkan sebanyak 30% DHE ditempatkan ke dalam sistem keuangan Indonesia minimal tiga bulan.
Kebijakan ini berlaku bagi hasil barang ekspor sumber daya alam (SDA) pada sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Hal itu wajib dilakukan eksportir yang memiliki nilai ekspor pada Pemberitahuan Pabean Ekspor (PPE) paling sedikit US$ 250.000 atau ekuivalennya.
Menurut Shinta, dunia usaha mengerti bahwa kebijakan tersebut bertujuan baik agar DHE bisa masuk ke Indonesia. Namun dalam catatannya, ia menjelaskan kebijakan itu dinilai kurang menguntungkan karena bunga Indonesia tidak kompetitif jika dibandingkan negara lain.
“Bahwa kita harus tahan 3 bulan dan lain-lain, ini juga ada pengaruhnya karena bunga kita tidak kompetitif dibandingkan dengan negara lain,” sambungnya.
Sementara kebijakan ketiga, adalah soal perizinan. Ia mengatakan pemerintah memang sudah berupaya mempermudah perizinan dengan mengusung sistem online single submission (OSS) dan mempermudah regulasi lewat Undang-Undang Cipta Kerja. Tapi, nyatanya, saat ini masih banyak kendala terhadap implementasi hal tersebut di lapangan.
“Jadi ini hal-hal yang mungkin kenyataan policy, praktik di lapangan masih banyak gap-nya,” tuturnya.
Oleh sebab itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 2.000 perusahaan, Shinta mengatakan APINDO mengeluarkan lima rekomendasi bagi pemerintahan yang akan datang untuk mendukung dunia usaha.
Pertama, adalah kepastian hukum termasuk koordinasi lintas Kementerian dan Lembaga. Kedua, peningkatan produkvtas yang berkaitan dengan adopsi teknologi dan peningkatan sumber daya manusia. Ketiga, optimasi kebijakan perdagangan dan industri untuk menciptakan nilai tambah dari rantai pasok.
Keempat, implementasi konsep enviromental, social, dan governance (ESG) untuk mendorong green economy. Dan Kelima, adalah dukungan terhadap infrastruktur yang berkaitan dengan upaya transisi energi serta sarana dan prasarana digitalisasi.
“Lima rekomendasi dari hasil survei pengusaha itu dianggap paling penting untuk supaya pemerintah yang akan datang bisa masuk ke dalam ekonomi lima tahun ke depan. Saya rasa ini beberapa pesan dari pelaku usaha,” pungkasnya.
(eds/eds)