Jakarta –
Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk Ahmad Dani Virsal blak-blakkan perusahaannya saat ini mencatatkan kerugian hingga Rp 450 miliar. Biang kerok kerugian tersebut, menurut Ahmad terjadi karena harga timah di pasar global tengah mengalami penurunan.
Alhasil, pendapatan dari penjualan perusahaan juga ikut turun. Pada saat yang sama, produksi PT Timah juga disebut Ahmad mengalami penurunan. Belum lagi beban operasional perusahaan masih tetap tinggi
“Bebannya tetap, peak cost-nya tetap tapi pendapatan kita jauh menurun karena produksinya juga jauh menurun. Produksi menurun ditambah parah lagi harga jual timah juga menurun sehingga pendapatan itu jomplang jauh sekali,” ujar Ahmad dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Selasa (2/4/2024).
Pendapatan PT Timah tercatat turun 33% di tahun 2023 menjadi hanya Rp 8,39 triliun, di tahun 2022 sempat menyentuh Rp 12,5 triliun. Sejalan dengan itu, perusahaan mengalami rugi bersih Rp 450 miliar, padahal di tahun 2022 sempat mendapatkan laba hingga Rp 1,04 triliun.
Ketika ditanya soal harga timah turun, Ahmad bilang hal itu salah satunya terjadi karena dunia tengah kebanjiran pasokan timah yang membuat harganya turun. Dia juga menjelaskan ada sejumlah negara yang produksinya mengalami peningkatan, salah satunya adalah Malaysia.
Ahmad memaparkan harga rata-rata timah per metrik ton mengalami penurunan sejak tahun 2021. Di 2021 harga rata-rata mencapai US$ 32.169, kemudian turun di 2022 menjadi US$ 31.474, hingga akhirnya di 2023 menjadi US$ 26.583 per metrik ton.
“Penurunan produksi, harga jual menurun itu karena di pasar dunia itu oversupply,” beber Ahmad.
Respons Anggota DPR
Mendengar paparan Ahmad, Anggota Komisi VI DPR justru mengaku kaget. Khususnya mengapa kinerja keuangan PT Timah sampai berdarah-darah.
Anggota Komisi VI Haris Turino menyatakan seharusnya Ahmad lebih terbuka mengapa produksi timah bisa turun, bahkan sampai membuat pendapatan PT Timah turun. Khususnya, apakah ada hubungannya kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah dengan buruknya kinerja perusahaan.
“Harusnya dijelaskan pak kenapa produksi turun, bukan hanya pendapatan turun karena produksi dan harganya turun,” kata Haris.
Haris juga kaget melihat kinerja keuangan PT Timah yang sangat fluktuatif. Dia memaparkan di tahun 2020 PT Timah mencatatkan kerugian Rp 340 miliar, kemudian tiba-tiba mendulang keuntungan hingga Rp 1,3 triliun di tahun 2021.
Kemudian, di tahun 2022 keuntungan turun menjadi Rp 1,04 triliun. Namun, tiba-tiba di 2023 kembali mengalami kerugian sampai Rp 450 miliar. Menurutnya, ada yang tidak beres bila melihat tren kinerja keuangan perusahaan.
“Ini menariknya lagi adalah labanya kenapa fluktuatif sekali? Di 2020 rugi Rp 340 miliar, 2021 itu untung Rp 1,3 triliun, di 2022 masih Rp 1 triliunan untung, tahu-tahu 2023 rugi Rp 450 miliar,” kata Haris Turino.
Anggota komisi lainnya, Deddy Sitorus juga menyoroti masalah anjloknya pendapatan PT Timah. Dia mengaku kaget PT Timah bisa sampai merugi. Pasalnya, Deddy menilai harga timah sedang tinggi-tingginya sejak tahun 2018.
“Bapak ini bagaimana menjelaskan tata niaga itu bisa sampai merugi? Karena dari tahun 2018 itu trending-nya harga timah naik terus, nggak ada cerita bisa rugi seharusnya kalau menurut saya,” beber Deddy Sitorus.
(hal/hns)